Prolog; Perkara yang dihadapi Muhammadiyah
Akhir-akhir ini kita sering mendengar ungkapan-ungkapan yang muncul di media sosial atau bahkan di kalangan internal persyarikatan Muhammadiyah sendiri, seperti ungkapan “Muhammadiyah itu setengah Wahabi. Setelah kemerdekaan pimpinan Muhammadiyah itu berupaya menyatukan antara Aswaja dengan Wahabi`” (Idrus Romli dalam berbagai cuplikan di Youtube), “Muhammadiyah tidak bermazhab, telah melakukan Talfiq” (dialog penulis dengan netizen pengikut Zaim Saidi di facebook, sekitar tahun 2021), “Salafi Muhammadiyah, Layaknya Benalu” (Republika, Rabu 29 Mei 2024), “Muballigh Muhammadiyah tidak mumpuni” (komentar netizen di youtube Tri Giyatno dalam tema Mengapa Salafi mudah masuk Muhammadiyah), dan “Muhammadiyah tidak mampu melahirkan kadernya yang handal padahal AUM pendidikannya banyak”, dan lain-lain.
Semua ungkapan itu bernada negatif karena memang yang dilihat adalah perkara-perkara kekurangan Muhammadiyah dari sudut pandang mereka, adapun perkara-perkara yang menjadi kelebihannya sering tidak diungkapkan atau jika diungkapkan oleh aktifisnya terkadang justru ungkapan berlebihan, seperti ungkapan “Muhammadiyah sudah mandiri tidak perlu bantuan pemerintah dan ormas lain”, dan “Muhammadiyah memang tidak perlu bermazhab karena sudah cukup kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”.
Apa itu Muhammadiyah
Muhammadiyah bukanlah agama, ia merupakan sebuah organisasi atau persyarikatan dakwah Islam amar makruf nahi munkar yang bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (AD/ART Muhammadiyah Bab III Pasal 6).
Sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah mengakomodir pandangan-pandangan pribadi anggotanya tentang struktur organisasinya yang kemudian dituangkan dalam sebuah bentuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta bentuk lain yang mengatur sebagai kaidah atau aturan organisasi/persyarikatan. Di dalamnya dibicarakan dan diatur tentang pimpinan, Majelis-majelis, Lembaga-lembaga dari tingkat pusat (nasional) sampai tingkat ranting (tingkat desa) beserta uraian tugasnya masing-masing.
Salah satu majelis penting dalam persyarikatan Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih dan Tajdid yang dibentuk sejak tahun 1927 M. Majelis inilah yang membidangi perkara-perkara keagamaan warga/anggota Muhammadiyah. Dari Majelis inilah lahir buku atau kitab Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah yang sering disingkat HPT. Di dalam kitab HPT ini dibahas tentang akidah atau iman, ibadah, dan muamalah serta beberapa perkara yang lain. Semua perkara ini dibahas berdasarkan petunjuk Al-Quran dan Sunnah Shahihah (Maqbulah), sesuai syariat Islam.
Iman Dalam HPT
HPT membahas iman di bab yang paling awal. Setelah mengemukakan pendahuluan dengan menyampaikan hadits Jibril alaihis salam dalam bab iman, HPT mengatakan: Kemudian daripada itu, maka kalangan umat yang terdahulu (salaf), yakni mereka yang terjamin keselamatannya (firqoh najiyah), mereka telah sependapat atas kepercayaan bahwa seluruh alam kejadian itu mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidakadaan dan mempunyai sifat akan punah, mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran agama. Demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.
Kemudian HPT menjelaskan tentang rukun iman yang enam, dari iman kepada Allah Yang Maha Mulia sampai dengan iman kepada Qadla’ dan Qadar dengan dalil-dalil yang disertakan setelahnya. Di bagian penutup bab iman ini, HPT mengatakan; Inilah pokok-pokok Akidah yang benar yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits dan dikuatkan oleh pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir. Maka barangsiapa percaya akan semua itu dengan keyakinan yang teguh, masuklah ia dalam golongan mereka yang berpegang pada kebenaran dan tuntunan Nabi (Ahlul Haqqi Was Sunnah) serta lepas dari golongan ahli bid’ah dan kesesatan.
Kalau kita mau mempelajari secara seksama bab iman dalam HPT ini kemudian kita sandingkan dengan iman yang dibahas oleh empat imam mazhab fiqih, maka kita dapat berkesimpulan bahwa akidah warga Muhammadiyah sama persis dengan akidahnya para imam mazhab yang empat (lihat kitab I’tiqod al Aimmah al Arba’ah karya Muhammad bin Abdur Rahman al Khumais, kitab Ushuluddin ‘Indal Aimmah Al Arba’ah Wahidah karya Syekh Nashir bin Abdullah Al Qoffari, juga kitab Akidah Islam Menurut Empat Mazhab karya Abul Yazid Abu Zaid Al A’jami), dan tidak bisa ditarik ke dalam salah satu faham Asy’ariyah saja atau Atsariyah/Salafi saja, tetapi keduanya. (lihat istilah-istilah yang dipakai dalam HPT adalah istilah-istilah yang dipakai lebih dahulu oleh para ulama baik dari kalangan Asy’ariyah maupun Atsariyah kalam Hambali, seperti Imam Al Barbahary wafat tahun 329 H, Imam Ibnuz Zaghunny wafat tahun 527 H, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat tahun 728 H, dan lain-lain yang masih banyak, Akar Turats Ahlis Sunnah Wal Jamaah (Kalam Hambaly) dalam HPT Kitabul Iman oleh Nur Fajri Romadlon, 1443 H).
Oleh karena itu tepat kiranya jika Ustadz Nur Fajri Romadlon (Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta dan pernah menjadi ketua PCIM Saudi Arabia) dalam tulisannya yang berjudul Akar Turats Ahlis Sunnah Wal Jamaah (Kalam Hambaly) dalam HPT Kitabul Iman menyampaikan di halaman 131 sebagai berikut; Dengan Demikian, jelaslah bahwa uraian dalam HPT juga sesuai dengan keyakinan Ahlus sunnah Wal Jamaah dari kalangan Atsariyah, termasuk Syaikhul Islam dan As Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Sehingga klaim bahwa HPT berafiliasi kepada Asy’ariyah adalah tidak benar. Muhammadiyah dalam HPT dan fatwa-fatwanya tidaklah berafiliasi kepada mazhab fikih manapun, apalagi mazhab kalam. Uraian dalam HPT sudah sesuai dengan kesepakatan semua Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Adapun lebih rinci dari itu, sebagiannya ada perbedaan sesama ahlus sunnah wal jamaah, tentang makna kasb, tentang ta’tsir, tentang nisbatul fi’il, dst. Bukan hanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berdiskusi disana. Pun Al Imam As Syaikh Abul Hasan Al Asy’ary (w 324 H), Al Imam Abu Mansur Al maturidy (w 333 H), Al Qadly Al Baqillany (w 403 H), Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfarayiny (w 418 H), Imamul Haramain (w 478 H), dll. Tidak tersembunyi pula bagi pembelajar ilmu akidah bahwa antara Asy’ariyah dan Maturidiyah ada perbedaan dalam sebagian rincian ini. Pun begitu antara sesama Asy’ariyah, ada perbedaan substantif. Akan tetapi uraian HPT, maka itu merupakan titik kesepakatan seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Sehingga tidak benar pula kesimpulan Idrus Romli yang menyatakan bahwa Akidah Muhammadiyah menggabungkan Aswaja dengan Wahabi (setengah Asy’ariyah, setengah Atsariyah), tetapi justru itulah jatidiri Akidah Muhammadiyah yang sesuai dengan akidahnya para imam terdahulu, akidah Ahlul Haqqi Was Sunnah.
Ibadah dan Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Dalam hal ibadah, yakni ibadah mahdlah/khosh, Muhammadiyah tidak terikat dan mengikatkan diri kepada salah satu mazhab (fiqih) yang ada, tetapi aqwal mazahib (perkataan imam mazhab) dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa ajaran al Quran dan al Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat. Dalam beristidlal (berdalil untuk mengambil hukum), dasar utamanya adalah al Quran dan sunnah shahihah (maqbulah). Ijtihad dan istinbat (upaya mengambil hukum) atas dasar illah (sebab/reason) terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash (ayat al Quran atau hadits), dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi (penyembahan), dan memang hal yang dihajatkan dalam memenuhi kebutuhan manusia.
Tidak terikat dan mengikatkan diri kepada salah satu mazhab (fiqih) yang ada ini bukan berarti Muhammadiyah melakukan Talfiq (menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab dalam satu perkara amalan fiqih) karena yang dilakukan adalah berupaya mengambil hukum dari suatu dalil yang dikumpulkan baik dari Al Quran maupun hadits Nabi SAW, jika terdapat ta’arudl (dalil-dalil yang seakan-akan bertentangan satu sama lain) maka dilakukan dengan al jam’u wat taufiq, tarjih, naskh, atau tawaqquf, (dan sebagaimana cara para imam mazhab mengambil suatu hukum). Maka menurut ustadz Yunahar Ilyas, metode ini disebut dengan Fikih Manhaji bukan Mazhabi, suatu metode yang mementingkan dalil dibanding pendapat para imam mazhab. (Suara Muhammadiyah dalam judul Begini Ringkasan Idiolagi Muhammadiyah Menurut Yunahar Ilyas, 12 Juli tahun 2017. Muhammadiyah.or.id).
Pertanyaannya adalah apakah boleh seseorang tidak mengikatkan dirinya pada suatu mazhab tertentu?, maka jawabannya bisa diambil dari perkataan Imam As Syafii; “Apabila Engkau menemukan dalam kitabku (pendapatku) menyeleisihi sunnah Rasulullah SAW, maka katakanlah (ikutilah) Sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkanlah pendapatku itu”, Imam Hambali; “Janganlah kalian bertaklid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafii, Imam Al Auza’i, dan Imam Al Tsauri, tetapi ambillah sumber yang mereka ambil.”, juga perkataan Ibnu Taimiyah; “Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap kata-katanya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama dengan menyikapi Rasul semata, yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ Fatawa, 35/121, Darul Wafa’ dalam Wajibkah Kita Bermazhab?, Muhammad Abduh Tuasikal, 2 April 2010. Rumaysho.com). Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah ini mendasarkan pada QS. An-Nisa’: 45, dll. Maka dengan demikian sikap Muhammadiyah ini, insyaAllah, sudah benar sudah sesuai nasehat para ulama tersebut untuk mengikuti (ittiba’) kepada dalil.
Muamalah, Titik Temu dan Titik Pisah Muhammadiyah Dengan Salafi dan NU
Muhammadiyah, Gerakan Salafi “Wahabi” dan NU sesungguhnya memiliki titik temu maupun titik pisah. Jika kita melihat dari sudut pandang sejarah dan pemikiran, maka Muhammadiyah memiliki akar sejarah yang sama dengan NU, yaitu sama-sama lahir dari dua tokoh yang dahulunya belajar pada guru yang sama di Semarang, kemudian belajar ke tanah suci dan kemudian pulang ke tanah air untuk bersama-sama melawan penjajah Belanda dan melawan kondisi yang ada saat itu dengan mendirikan organisasi. (Mansyur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 1, Cet V, 2020). Muhammadiyah juga memiliki pemikiran yang sama dengan Salafi “Wahabi” dalam upaya memberantas syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. (Lihat buku Muhammadiyah dan Wahhabisme Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru terbitan Suara Muhammadiyah, tahun 2013).
Perbedaan Muhammadiyah dengan NU sebenarnya dapat dilihat dari dua hal, yaitu; Pertama, Tekstual Organisatoris, dimana NU secara eksplisit menyatakan bahwa dalam hal akidah mengikuti akidah Asy’ariyah-Maturidiyah, dalam hal ibadah mengikuti salah satu dari mazhab empat, dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam Junaid dan Imam al Ghazali (AD/ART NU Bab II Pasal 5) sedangkan Muhammadiyah sebagaimana uraian di atas secara eksplisit mengikuti akidah Ahlul Haqqi Was Sunnah (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) dan secara eksplisit pula tidak terikat pada suatu mazhab tertentu, dan dalam hal tasawuf Muhammadiyah tidak secara eksplisit manyatakannya karena memandang cukup dengan berahlak yang baik sesuai sunnah nabi sampai derajat muhsin atau bahkan muttaqi dengan mengamalkan buku Pedoman Hidup Islami. Kedua, Faktual Empiris, dimana kebanyakan warga NU melakukan tahlilan, yasinan, diba’an, sementara warga Muhammadiyah tidak (kecuali beberapa). Adapun yang lain-lain sesungguhnya adalah perkara-perkara khilafiyah (ijtihadiyah) dalam fiqih ibadah.
Perbedaan Muhammadiyah dengan Gerakan Salafi “Wahabi” menurut Agung Danarto adalah dalam hal; penggunaan akal, wacana kemodernan, penerimaan budaya lokal, metode amr makruf nahi mungkar, memandang negara, peran perempuan, pakaian, musik dan nyanyian. (Muhammadiyah.Or.Id., tahun 2022). Kesemuanya ini hampir terkait dengan masalah-masalah ijtihadiyah.
Kalau kita mau melihat dengan jujur, maka hampir semua perbedaan atau perseteruan itu terkait masalah ijtihadiyah furu’iyah (cabang-cabang agama) bukan pada perkara ushuluddin (pokok-pokok agama), sehingga Diversity May Go On.
Penguatan Kajian HPT Melalui Kehandalan Muballigh Muhammadiyah
Persoalan-persoalan sebagaimana yang penulis uraikan di atas tidak bisa kita biarkan terus-menerus berkesinambungan lintas generasi, meskipun itu perkara ijtihadiyah, harus ada upaya menyelesaikannya atau paling tidak mengurangi sedikit demi sedikit. Bagaimana caranya? Penulis makalah ini mengajukan sebuah tawaran solusi internal dengan menguatkan Sekolah Muballigh Muhammadiyah untuk jangka pendek, adapun untuk jangka panjang maka Muhammadiyah perlu mengirim para kadernya belajar ke pesantren-pesantren atau PT Agama untuk menguasai Bahasa Arab dan ilmu agama, serta yang paling dekat bisa dilaksanakan adalah menguatkan pendalaman kajian-kajian kitab HPT di berbagai pengajian atau kuliah shubuh. Wallahu A’lam Bis Shawab Wa Huwal Musta’an.
Makmun Pitoyo
Kajian Ahad Kliwon
20 Oktober 2024 di PCM Parakan