Blog

Mengenal Muhammadiyah

9
×

Mengenal Muhammadiyah

Sebarkan artikel ini

Muhammadiyah bukanlah agama, ia merupakan sebuah persyarikatan yang lahir sebagai Gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Quran dan As Sunnah, berasaskan Islam dengan maksud dan tujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (AD/ART Muhammadiyah Pasal 1, 4 dan 6).

Persyarikatan Muhammadiyah ini didirikan di Yogyakarta oleh KH Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 Nopember tahun 1912 M sebagai jawaban atas dorongan para santrinya di sekolah yang beliau dirikan yang bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah tahun 1911 M dan atas kondisi yang ada pada saat itu dimana bangsa Indonesia belum merdeka dan dari perspektif Islam masyarakat banyak yang belum terdidik dengan baik bahkan terjatuh pada syirik, tahayyul, bid’ah dan khurafat. (AD/ART Muhammadiyah Pasal 2 dan 3 dan Ahmad Mansur Suryanegera, Api Sejarah, 2020, hal. 432 – 450).

Agar gerakan Muhammadiyah ini berjalan dengan baik, maka ia membentuk struktur kepemimpinan dari pusat hingga ranting dan membentuk pula Unsur Pembantu Pimpinan yang terdiri dari Majelis-majelis dan Lembaga-lembaga, serta organisasi otonom seperti IPM, TS, HW, IMM, PM, NA dan Aisyiyah. (AD/ART Muhammadiyah Pasal 9, 19, 20 dan 21). Adapun untuk mencapai maksud dan tujuannya, maka Muhammadiyah mendirikan usaha-usaha dalam berbagai bidang seperti bidang sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan dakwah atau tabligh. Bidang-bidang ini semua bukanlah tujuan melainkan merupakan sarana dan wahana dakwah Islam.

Salah satu majelis penting dalam persyarikatan Muhammadiyah adalah Majelis Tarjih dan Tajdid yang dibentuk sejak tahun 1927 M. Majelis inilah yang mengarahkan dan membidangi perkara-perkara keagamaan warga/anggota Muhammadiyah. Dari Majelis inilah lahir buku atau kitab Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah yang sering disingkat HPT, lahir juga buku Tanya-Jawab Agama yang saat ini telah terbit sebanyak 9 jilid. Di dalam kitab HPT ini dibahas tentang akidah atau iman, ibadah, dan muamalah serta beberapa perkara yang lain. Semua perkara ini dibahas berdasarkan petunjuk Al-Quran dan Sunnah Shahihah (Maqbulah), sesuai syariat Islam. (Jadi kalau mau melihat sisi keagamaan Muhammadiyah dan warganya secara normatif, maka lihatlah Majelis Tarjih dan Tajdidnya serta produk-produk yang dihasilkan)

HPT Bab Iman/Akidah

Terkait pokok akidah Muhammadiyah, HPT jilid 1 menjelaskannya melalui satu hadits dari Umar Bin Khattab RA tentang malaikat Jibril yang datang dan bertanya kepada Rasulullah SAW perihal Islam, iman, Ihsan, dan tanda-tanda kiamat. Hadits itu berbunyi:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْت

Dari Umar RA. juga dia berkata: Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi SAW lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “Beritahukan aku tentang Iman.”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “anda benar“ (HR. Muslim).

Jadi, kita melihat bahwa keyakinan pokok Muhammadiyah berkisar pada enam perkara dalam rukun iman ini, dimana Rukun Iman yang pertama dijelaskan oleh HPT kurang lebih sebagai berikut:

Wajib kita percaya akan Allah Tuhan kita. Dialah Tuhan yang
sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya.
Dialah yang pertama tanpa permulaan dan yang akhir tanpa penghabisan.
Tiada sesuatu yang menyamai-Nya. Yang Esa tentang ketuhanan-Nya.
Yang hidup dan pasti ada dan mengadakan segala yang ada. Yang mendengar
dan yang melihat. Dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu.
Perihal-Nya apabila ia menghendaki sesuatu Ia berfirman: “Jadilah”! maka
jadilah sesuatu itu. Dan dia mengetahui segala sifat kesempurnaan. Yang suci
dari sifat mustahil dan segala kekurangan. Dialah yang menjadikan sesuatu
menurut kemauan dan kehendak-Nya. Segala sesuatu ada ditangan-Nya dan
kepada-Nya akan kembali.

Ada pun sifat-sifat Allah yang dijelaskan dalam HPT antara lain: Wujud, Dahulu, Esa, Berbeda dengan Makhluk, Hidup, Mendengar, Melihat, Berkuasa, Mengetahui dan Berfirman. Semua sifat-sifat Allah ini diambil dari ayat-ayat Alquran.

Sikap Muhammadiyah terhadap sifaf-sifat Allah itu adalah menerima dan tidak mengingkarinya serta menyerahkan pengertiannya kepada Allah Ta’ala (Taslim) dan menghindari pembicaraan mengenai Dzat Allah dan hubungan dzat dengan sifat karena akal manusia tidak akan pernah bisa mencapainya. (Tambahan penjelasan dari saya/penulis: kata zhahir dalam HPT tentang sifat Allah, ada dua macam zhahir, yaitu yang sesuai dengan mahluk/yaliiqu bil makhluk dan yang sesuai dengan Allah/yaliiqu bil Jalali wal Ikram. Maka bagi Allah tentu yang sesuai dengan-Nya, artinya tidak sesuai dengan mahluk, Laisa kamitslihi syai”un).

Pada masa lalu, pembicaraan tentang hubungan antara sifat dan dzat Allah menjadi sebab pertikaian di kalangan ulama ahli kalam sehingga melahirkan madzhab atau aliran pengingkaran sifat Allah (ta’thil) dan penyamaan sifat Allah kepada sifat makhluk (tajsim/ tamtsil). Tampak Muhammadiyah tidak ingin memicu pertikaian itu kembali.

Menurut HPT, akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang dzat Allah dan hubungan dzat dengan sifat Allah. Pembahasan mengenai hal itu tidak diperintahkan dalam Alquran, bahkan surat As-Syura ayat 11 tegas menyatakan: “Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya.”. Surat Thaha ayat 110 menegaskan keterbatasan kekuatan akal manusia dalam mengetahui hal-hal demikian.

Cukuplah bagi orang beriman memikirkan makhluk untuk membuktikan keberadaan, kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Tuntunan untuk lebih berpikir mengenai ciptaan Allah, bukan dzat-Nya itu sejalan dengan atsar dari Ibnu Abbas:

تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ ، وَلا تَفَكَّرُوا فِي اللَّهِ“ (رواه أبو نعيم عن ابن عباس)

“Berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Dzat Allah.”. (HR. Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas).

Ajaran untuk berpikir mengenai ciptaan Allah, bukan berarti anjuran untuk tidak mengingat Allah. Ajaran tersebut mengajarkan agar penghayatan kepada Allah dilakukan dengan mentadabburi (merenungkan) ciptaan-Nya yang menjadi tanda-tanda kekuasaan-Nya. Dengan merenungi tanda kekuasaan-Nya, maka seorang hamba akan semakin mengenal dan menghayati keagungan dan kuasa-Nya.

HPT membahas bab iman atau akidah ini di bab yang paling awal. Setelah mengemukakan pendahuluan dengan menyampaikan hadits Jibril alaihis salam sebagaimana di atas, HPT mengatakan: Kemudian daripada itu, maka kalangan umat yang terdahulu (salaf), yakni mereka yang terjamin keselamatannya (firqoh najiyah), mereka telah sependapat atas kepercayaan bahwa seluruh alam kejadian itu mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidakadaan dan mempunyai sifat akan punah, mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran agama. Demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.

Kemudian setelah itu HPT menjelaskan tentang rukun iman yang enam, dari iman kepada Allah Yang Maha Mulia sampai dengan iman kepada Qadla’ dan Qadar dengan dalil-dalil yang disertakan setelahnya. Di bagian penutup bab iman ini, HPT mengatakan; Inilah pokok-pokok Akidah yang benar yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits dan dikuatkan oleh pemberitaan-pemberitaan yang mutawatir. Maka barangsiapa percaya akan semua itu dengan keyakinan yang teguh, masuklah ia dalam golongan mereka yang berpegang pada kebenaran dan tuntunan Nabi (Ahlul Haqqi Was Sunnah) serta lepas dari golongan ahli bid’ah dan kesesatan.

Nah, kalau kita mau mempelajari secara seksama bab iman dalam HPT ini kemudian kita sandingkan dengan iman yang dibahas oleh empat imam mazhab fiqih, maka kita dapat berkesimpulan bahwa akidah warga Muhammadiyah sama persis dengan akidahnya para imam mazhab yang empat yaitu berkisar tentang enam rukun iman (sebagiamana dapat kita lihat dalam kitab I’tiqod al Aimmah al Arba’ah karya Muhammad bin Abdur Rahman al Khumais, kitab Ushuluddin ‘Indal Aimmah Al Arba’ah Wahidah karya Syekh Nashir bin Abdullah Al Qoffari, juga kitab Akidah Islam Menurut Empat Mazhab karya Abul Yazid Abu Zaid Al A’jami), dan akidah warga Muhammadiyah tidak bisa ditarik ke dalam salah satu faham Asy’ariyah saja atau Atsariyah/Salafi saja, tetapi keduanya. (kita bisa lihat istilah-istilah yang dipakai dalam HPT adalah istilah-istilah yang dipakai lebih dahulu oleh para ulama baik dari kalangan Asy’ariyah maupun Atsariyah kalam Hambali, seperti Imam Al Barbahary wafat tahun 329 H, Imam Ibnuz Zaghunny wafat tahun 527 H, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat tahun 728 H, dan lain-lain yang masih banyak, Akar Turats Ahlis Sunnah Wal Jamaah (Kalam Hambaly) dalam HPT Kitabul Iman oleh Nur Fajri Romadlon, 1443 H).

Oleh karena itu tepat kiranya jika Ustadz Nur Fajri Romadlon (Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta dan pernah menjadi ketua PCIM Saudi Arabia) dalam tulisannya yang berjudul Akar Turats Ahlis Sunnah Wal Jamaah (Kalam Hambaly) dalam HPT Kitabul Iman menyampaikan di halaman 131 sebagai berikut; Dengan Demikian, jelaslah bahwa uraian dalam HPT juga sesuai dengan keyakinan Ahlus sunnah Wal Jamaah dari kalangan Atsariyah, termasuk Syaikhul Islam dan As Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Sehingga klaim bahwa HPT berafiliasi kepada Asy’ariyah adalah tidak benar. Muhammadiyah dalam HPT dan fatwa-fatwanya tidaklah berafiliasi kepada mazhab fikih manapun, apalagi mazhab kalam. Uraian dalam HPT sudah sesuai dengan kesepakatan semua Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Adapun lebih rinci dari itu, sebagiannya ada perbedaan sesama ahlus sunnah wal jamaah, tentang makna kasb, tentang ta’tsir, tentang nisbatul fi’il, dst. Bukan hanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berdiskusi disana. Pun Al Imam As Syaikh Abul Hasan Al Asy’ary (w 324 H), Al Imam Abu Mansur Al maturidy (w 333 H), Al Qadly Al Baqillany (w 403 H), Al Ustadz Abu Ishaq Al Isfarayiny (w 418 H), Imamul Haramain (w 478 H), dll. Tidak tersembunyi pula bagi pembelajar ilmu akidah bahwa antara Asy’ariyah dan Maturidiyah ada perbedaan dalam sebagian rincian ini. Pun begitu antara sesama Asy’ariyah, ada perbedaan substantif. Akan tetapi uraian HPT, maka itu merupakan titik kesepakatan seluruh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Sehingga tidak benar pula jika ada orang yang menyatakan bahwa Akidah Muhammadiyah menggabungkan Aswaja dengan Wahabi (setengah Asy’ariyah, setengah Atsariyah), tetapi justru itulah jatidiri Akidah Muhammadiyah yang sesuai dengan akidahnya para imam terdahulu, akidah Ahlul Haqqi Was Sunnah atau yang sering juga dikenal dengan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. (Lebih detailnya bisa dipelajari langsung pada kitab HPT bab Iman jilid 1, termasuk uraian rukun iman yang lain).

HPT bab Ibadah

Dalam hal ibadah, yakni ibadah mahdlah/khosh, Muhammadiyah tidak terikat dan mengikatkan diri kepada salah satu mazhab (fiqih) yang ada, tetapi aqwal mazahib (perkataan imam mazhab) dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa ajaran al Quran dan al Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat. Dalam beristidlal (berdalil untuk mengambil hukum), dasar utamanya adalah al Quran dan sunnah shahihah (maqbulah). Ijtihad dan istinbat (upaya mengambil hukum) atas dasar illah (sebab/reason) terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash (ayat al Quran atau hadits), dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi (penyembahan), dan memang hal yang dihajatkan dalam memenuhi kebutuhan manusia.

Tidak terikat dan mengikatkan diri kepada salah satu mazhab (fiqih) yang ada ini bukan berarti Muhammadiyah melakukan Talfiq (menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab dalam satu perkara amalan fiqih) karena yang dilakukan adalah berupaya mengambil hukum dari suatu dalil yang dikumpulkan baik dari Al Quran maupun hadits Nabi SAW dengan metode yang sah (kombinasi antara pendekatan kebahasaan/semantik/bayani, penalaran filosofis/kausasi/ta’lili atau maqashid as syari’ah atau rasionalisasi, dan sinkronisasi dalil), dan jika terdapat ta’arudl (dalil-dalil yang seakan-akan bertentangan satu sama lain) maka dilakukan dengan al jam’u wat taufiq, tarjih, naskh, atau tawaqquf, serta Muhammadiyah mengambil hukum sebagaimana cara para imam mazhab mengambil suatu hukum. Maka menurut ustadz Yunahar Ilyas, metode ini disebut dengan Fikih Manhaji bukan Mazhabi, yaitu suatu metode yang mementingkan dalil dibanding pendapat para imam mazhab. (Suara Muhammadiyah dalam judul Begini Ringkasan Idiolagi Muhammadiyah Menurut Yunahar Ilyas, 12 Juli tahun 2017. Muhammadiyah.or.id).

Pertanyaannya adalah apakah boleh seseorang tidak mengikatkan dirinya pada suatu mazhab tertentu?, maka jawabannya bisa diambil dari perkataan Imam As Syafii; “Apabila Engkau menemukan dalam kitabku (pendapatku) menyeleisihi sunnah Rasulullah SAW, maka katakanlah (ikutilah) Sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkanlah pendapatku itu”, Imam Hambali; “Janganlah kalian bertaklid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafii, Imam Al Auza’i, dan Imam Al Tsauri, tetapi ambillah sumber yang mereka ambil.”, dan juga perkataan Ibnu Taimiyah; “Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap kata-katanya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama dengan menyikapi Rasul semata, yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ Fatawa, 35/121, Darul Wafa’ dalam Wajibkah Kita Bermazhab?, Muhammad Abduh Tuasikal, 2 April 2010. Rumaysho.com). Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah ini mendasarkan pada QS. An-Nisa’: 45, dll. Maka dengan demikian sikap Muhammadiyah dalam perkara-perkara fiiqh ibadah ini, insyaAllah, sudah benar sudah sesuai nasehat para ulama tersebut untuk mengikuti (ittiba’) kepada dalil.

HPT bab Muamalah

Titik Temu dan Titik Pisah Muhammadiyah Dengan Salafi dan NU

Muhammadiyah, Gerakan Salafi “Wahabi” dan NU sesungguhnya memiliki titik temu maupun titik pisah. Jika kita melihat dari sudut pandang sejarah dan pemikiran, maka Muhammadiyah memiliki akar sejarah yang sama atau titik temu dengan NU, yaitu sama-sama lahir dari dua tokoh yang dahulunya belajar pada guru yang sama di Semarang, kemudian belajar ke tanah suci dan kemudian pulang ke tanah air untuk bersama-sama melawan penjajah Belanda dan melawan kondisi yang ada saat itu dengan mendirikan organisasi. (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah Jilid 1, Cet V, 2020). Muhammadiyah juga memiliki pemikiran yang sama dengan Salafi “Wahabi” dalam upaya memberantas syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. (Lihat buku Muhammadiyah dan Wahhabisme Mengurai Titik Temu dan Titik Seteru terbitan Suara Muhammadiyah, tahun 2013).

Adapun perbedaan atau titik pisah Muhammadiyah dengan NU sebenarnya dapat dilihat dari dua hal, yaitu; Pertama, Tekstual Organisatoris, dimana NU secara eksplisit menyatakan bahwa dalam hal akidah mengikuti akidah Asy’ariyah-Maturidiyah, dalam hal ibadah mengikuti salah satu dari mazhab empat, dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam Junaid dan Imam al Ghazali (AD/ART NU Bab II Pasal 5) sedangkan Muhammadiyah sebagaimana uraian di atas secara eksplisit mengikuti akidah Ahlul Haqqi Was Sunnah (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) dan secara eksplisit pula tidak terikat pada suatu mazhab tertentu, dan dalam hal tasawuf Muhammadiyah tidak secara eksplisit manyatakannya karena memandang cukup dengan berahlak yang baik sesuai sunnah nabi sampai derajat muhsin atau bahkan muttaqi dengan mengamalkan buku Pedoman Hidup Islami. Kedua, Faktual Empiris, dimana kebanyakan warga NU melakukan tahlilan, yasinan, diba’an, sementara warga Muhammadiyah tidak (kecuali beberapa). Itulah titik temu dan titik pisah yang hampir semuanya perkara ijtihadiyah, adapun yang lain-lain sesungguhnya juga adalah perkara-perkara khilafiyah (ijtihadiyah) dalam fiqih ibadah.

Perbedaan Muhammadiyah dengan Gerakan Salafi “Wahabi” menurut Agung Danarto adalah dalam hal; penggunaan akal, wacana kemodernan, penerimaan budaya lokal, metode amr makruf nahi mungkar, memandang negara, peran perempuan, pakaian, musik dan nyanyian. (Muhammadiyah.Or.Id., tahun 2022). Lagi, kesemuanya ini juga hampir terkait dengan masalah-masalah ijtihadiyah.

Kalau kita mau melihat dengan jujur, maka hampir semua perbedaan atau perseteruan itu terkait masalah ijtihadiyah furu’iyah (cabang-cabang agama) bukan pada perkara ushuluddin (pokok-pokok agama), sehingga perbedaan-perbedaan furu’iyah itu dimaklumi.

PHI Warga Muhammadiyah

PHI adalah Pedoman Hidup Islami. Ini merupakan panduan ahlak warga Muhammadiyah. Di dalamnya diuraikan tentang ahlak seseorang dalam berbagai posisi kehidupannya berdasarkan petunjuk Al Quran dan Sunnah Nabi SAW. Sehingga warga Muhammadiyah hendaknya berahlak sebagaimana petunjuk syariat itu. Baik dia sebagai seorang rakyat biasa atau pemimpin, orang yang bekerja atau yang mempekerjakan, dalam keluarga maupun dalam bermasyarakat atau ketika bersendirian atau bersama dengan orang banyak. Jika semua itu dilakukan dengan baik dalam ahlak sehari-harinya, maka warga Muhammadiyah insyaAllah sudah bisa sampai derajat muhsin betul bahkan muttaqi.

Kelemahan Muhammadiyah dan Solusinya

Sebagai sebuah persyarikatan atau organisasi buatan manusia, Muhammadiyah tentu saja punya kelemahan. Satu kelemahan yang penulis rasakan saat ini adalah bahwa Muhammadiyah kurang gencar mensosialisasikan putusan-putusan Majelis Tarjih dan Tajdid terkait berbagai macam persoalan agama, sehingga terkesan atau seakan-akan Muhammadiyah hanya mengurusi soal AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) saja dan mengabaikan persoalan agama. Akibatnya ada warga Muhammadiyah atau bahkan banyak yang kemudian lari mencari kajian-kajian agama ke kelompok atau faham lain. Solusinya adalah terus menggencarkan sosialisasi kitab HPT dan Tanya Jawab Agama kepada masyarakat luas. Wallahu A’lam Bis Shawab.

(Penulis: Makmun Pitoyo, ketua PDM Temanggung Periode Muktamar 48 dan Pengasuh Pontren Al-Mu’min Muhammadiyah Tembarak).

Komentar