Muhammadiyah generasi awal itu, mereka:
“Di satu tempat mengajarkan sifat 20 bagi Allah dan menegaskan Asy’ariyyah sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, tapi di tempat lain mengajarkan Tauhiidur Rubuubiyyah beserta Tauhiidul Uluuhiyyah dan memuji-muji gerakan pemurnian Wahhaabiyyah yang muncul dari rumah Hanaabilah”
Sikap di atas tersebut, aneh bukan? Anda merasa hal itu aneh? Sama, saya dulu pun merasa hal itu absurd, dan membingungkan!
Baca buku Kiyai Raden Haji Hadjid (murid langsung Kiyai Haji Ahmad Dahlan) tentang pelajaran-pelajaran Kiyai Dahlan, anda akan menemukan pelajaran-pelajaran, yang terkadang dikutip dari kitab Bidaayatul Hidaayah karangannnya al-Imaam al-Ghazaalii[1] dan kitab Al-Hikam karangannya al-Imaam Ibnu ‘Athaa-illaah as-Sakandarii[2], namun terkadang pula ada yang dikutip dari Fathul-Maajid (Syarhu Kitaabit Tauhiid) karangannya al-‘Allaamah ‘Abdurrahmaan bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhaab[3], disamping berbagai kutipan lainnya dari Ulama-Ulama lain seperti as-Sayyid Jamaaluddiin al-Afghaanii dan asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh.
Baca buku-buku Buya Hamka, dari mulai: Teguran Suci Dan Jujur Terhadap Mufti Johor, Ayahku, Tafsir Al-Azhar, Pelajaran Agama Islam, 1001 Soal Kehidupan, Kenang-Kenangan Dalam Hidup, Perkembangan Dan Pemurnian Tasawuf, dan lain-lain, akan ditemukan bahwa Buya Hamka menganggap al-Imaam Asy’arii dan al-Imaam Maaturiidii adalah dua pembesar Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah[4] [5], beliau masih terkadang menta’wil sifat-sifat Allah beberapa kali[6] [7] [8], beliau masih mengajarkan sifat 20 yang wajib bagi Allah[9], mengatakan bahwa firman Allah itu tanpa suara dan tanpa huruf[10], namun beliau yang sama juga memuji-muji Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah, al-‘Allaamah Ibnul Qayyim, dan asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil Wahhaab[11] [12], serta membela ketiga Ulama tersebut dari tuduhan Mujassimah[13], beliau menolak takwil saat membicarakan bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy[14] dan saat membicarakan turunnya Allah ke langit dunia[15], beliau tetap menyebut-nyebut Wahhaabiyyah itu adalah berasal dari madzhab Hanbalii sehingga masih termasuk Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah[16], mengajarkan Tauhiidur Rubuubiyyah beserta Tauhiidul Uluuhiyyah[17] [18], dan beliau menganggap meminta-minta kepada penghuni kubur sebagai perantaraan kepada Allah sebagai kesyirikannya kaum musyrikiin[19].
Baca buku-buku Kiyai Haji Djarnawi Hadikusumo, dari mulai Kitab Tauhid, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Bid’ah Khurafat, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Aliran Pembaruan Islam, dan lain-lain, akan ditemukan bahwa Kiyai Djarnawi itu mengajarkan sifat 20 yang wajib bagi Allah[20], mengajarkan tafwiidh dan ta’wiil terhadap sifat-sifat Allah[21], menegaskan bahwa al-Imaam al-Asy’arii dan al-Imaam al-Maaturiidii sebagai dua Imaam dalam ilmu tauhid Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah[22], namun beliau juga memuji Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah[23] dan asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil Wahhaab[24], memuji perjuangan pergerakan Wahhaabiyyah dalam menghapuskan kesyirikan dan kebid’ahan[25], berkata bahwa Allah punya tangan yang tidak sama dengan tangan makhluk, punya wajah yang tidak sama dengan wajah makhluk[26], menganggap meminta-minta kepada kuburan waalii/shaalih adalah syirik walaupun hanya sekedar berharap syafa’at ataupun wasiilah[27], dan beliau mendukung serangkaian pertempuran Kerajaan Arab Saudi yang Wahhaabii melawan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya[28].
Aneh? Membingungkan? Absurd? Bagaimana bisa mengakui Asy’arii sekaligus Wahhaabii sebagai sama-sama Ahlus Sunnah? Sebenarnya mereka Wahhaabii? Atau mereka Asy’arii?
Jujur, awalnya saya bingung, sangat bingung! Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Buya Hamka dan Kiyai Haji Djarnawi Hadikusumo? Sebenarnya mereka itu apa? Siapa? Bagaimana? Kok bisa?
Namun pada akhirnya, saya tidak bingung lagi, setelah saya memahami fase-fase perkembangan pemikiran Kiyai Haji Ahmad Dahlan, yang mana, dengan memahami itulah yang dapat menjelaskan kepada kita dan membuat kita memahami bagaimana paradigma Muhammadiyah generasi awal, Berikut tiga point yang harus dimengerti untuk dapat mengerti paradigma Muhammadiyah generasi awal:
(1) Point pertama, Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan para Ulama Muhammadiyah generasi awal, pada dasarnya berpaham keislaman sama dengan pemahaman tradisional pada saat itu, sehingga Kiyai Dahlan memang pada mulanya adalah seorang Asy’arii-Syaafi’ii-Ghazaalii (berakidah Asy’ariyyah, berfikih Syaafi’iyyah, dan bertasawuf Ghazaaliyyah), layaknya para Ulama lainnya di masa itu.
Kiyai Raden Haji Hadjid (murid langsung Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan Ulama penggagas berdirinya Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta, wafat 1977) -rahimahullaah- mengatakan:
“Pada mulanya kitab-kitab yang dipelajari atau ditelaah oleh beliau (Kiyai Haji Ahmad Dahlan -red) adalah kitab-kitab yang biasa dipelajari oleh kebanyakan ulama di Indonesia dan ulama Mekkah. Misalnya, dalam ilmu ‘aqaid ialah kitab kitab yang beraliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah, ilmu fikih menggunakan kitab-kitab dari mazhab Syafi’iyyah, dan dalam hal ilmu tasawuf Kiai Ahmad Dahlan merujuk kepada Imam Al-Ghazali.” [29]
Pada fase pertama ini, dalam bertasawuf, Kiyai Dahlan jelas merujuk kepada al-Imaam al-Ghazaalii, dalam berfikih, menggunakan kitab-kitab dari madzhab Syaafi’iyyah, dan dalam berakidah, mengikuti kitab-kitabnya aliran Ahlus Sunnah Wal jamaa’ah, yang apabila dikaitkan dengan perkataan Kiyai Hadjid sebelumnya: “Yang biasa dipelajari oleh kebanyakan ulama di Indonesia dan ulama Makkah”, maksudnya jelas adalah aliran Asy’ariyyah yang memang secara umum diikuti di Indonesia dan di Makkah kala itu.
Bagi Kiyai Dahlan, pada masa itu, yang tumbuh sejak kecil hingga menjelang dewasa di Jawa, hal itu biasa saja dan tidaklah mengherankan, karena di nusantara sejak awal memang para Kiyai dan para Habib hampir semuanya sejak dahulu memahami dan mengamalkan Islaam sesuai pemahaman yang disebut tradisionalis (termasuk para Kiyai yang menjadi guru-gurunya Kiyai Dahlan), yaitu dalam tradisi: Kalaam Asy’arii, Fiqih Syaafi’ii, dan Tashawwuf Ghazaalii, bahkan nusantara pun hingga sekarang, masih mayoritas kiyai-kiyainya adalah Asy’ariyyah-Syaafi’iyyah-Ghazaaliyyah.
Selanjutnya, pada fase belajarnya Kiyai Ahmad Dahlan di kota Makkah, memang saat itu bagian barat Jazirah Arab masih dikuasai oleh Kerajaan Syariif yang merupakan bawahan Kesultanan Turki Ottoman, para Mufti dan para Ulama lainnya, memang secara umum -dari segi politik maupun sosial- mendukung tradisi keilmuan Asy’ariyah-Syaafi’iyyah-Ghazaaliyyah.
(2) Point kedua, Kiyai Haji Ahmad Dahlan, para Ulama Muhammadiyah generasi awal, para Ulama Persis/Persatuan Islam generasi awal, dan para Ulama Al-Irsyaad generasi awal, benar-benar sangat dipengaruhi/terpengaruh oleh gagasan-gagasan pembaharuan/reformisme/tajdiidiyyah yang berasal dari as-Sayyid Jamaaluddiin al-Afghaanii, asy-Syaikh Muhammadiyah ‘Abduh, dan as-Sayyid Muhammad Rasyiid Ridhaa, melalui dua majalah yang amat terkenal: Al-‘Urwatul Wutsqaa dan Al-Manaar, serta kitab-kitab lainnya karangan ketiga Ulama di atas. Tiga Ulama tersebut di atas, dalam akidah, fikih, dan tasawuf, mereka tidak mengikatkan diri kepada salah satu madzhab tertentu[30], bahkan mereka terbuka dan aktif mengambil/berpegang pada pendapat-pendapat dari madzhab-madzhab yang berbeda-beda. Kemudian secara khusus, tentang Rasyiid Ridhaa, beliau merupakan seorang Ulama yang sangat besar dukungannya kepada dakwah Wahhaabiyyah, bahkan beliau ikut menyebarkan prinsip-prinsip dakwah Wahhaabiyyah yang memberantas kesyirikan dan kebid’ahan, dalam tulisan-tulisan beliau sendiri.
Kiyai Raden Haji Hadjid -rahimahullaah- mengatakan:
“Kemudian, setelah itu, beliau (Kiyai Haji Ahmad Dahlan) mulai mempelajari Tafsir Al-Manar karya Rasyid Ridha, majalah Al-Manar dan Tafsir Juz ‘Amma karya Muhammad ‘Abduh, serta menelaah kitab Al-‘Urwatul Wutsqa karya Jamaluddin al-Afghani.” [31]
Kiyai Raden Haji Hadjid tidak akan menyebutkan secara khusus fase kedua ini dari perjalanan pemikiran Kiyai Haji Ahmad Dahlan, melainkan pastilah fase ini benar-benar memiliki sangat besar dampaknya/pengaruhnya pada diri beliau, sehingga akhirnya membedakan Kiyai Dahlan di fase ini dengan fase sebelumnya. Keterpengaruhan oleh gagasan-gagasannya al-Afghaanii, ‘Abduh, dan Rasyiid Ridhaa, pastilah berdampak besar, pada fikih, akidah, dan tasawuf, kalau tidak, mana mungkin Hadhratusy-Syaikh Kiyai Haji Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdhatul Ulama) perlu berbicara secara khusus dalam kitab beliau guna memvonis sesat/ahlul bid’ah, terhadap suatu firqah/sekte yang beliau sebut sudah mengikuti ‘Abduh, dan Rasyiid Ridhaa[32].
Melalui Rasyiid Ridhaa ini, dapat kita katakan, mendapat keterpengaruhan Kiyai Dahlan terhadap Wahhaabiyyah dan prinsip-prinsip dakwahnya yang tegas terhadap kesyirikan, bid’ah, takhayul, dan khurafat, serta wawasan yang lebih banyak tentang gagasan-gagasannya Syaikhul Islaam Ibnu Taimiyyah yang menjadi landasan/dasar dari pergerakan dakwah Wahhaabiyyah.
(3) Point ketiga, Kiyai Haji Ahmad Dahlan pada akhirnya menjadi lebih terbuka dan lebih aktif dalam mempelajari kitab-kitab yang berasal dari luar madzhab yang awalnya beliau pegang: Syaafi’iyyah-Asy’ariyyah, sehingga beliau kemudian mempelajari kitab-kitab dari para Ulama yang tidak mengikatkan diri kepada salah satu madzhab, maupun dari para Ulama yang bermadzhab dengan madzhab lainnya seperti dari Hanaabilah-Atsariyyah (berfikih Hanaabilah dan berakidah Atsariyyah/Salafiyyah), hingga dari Hanafiyyah-Maaturiidiyyah (berfikih Hanafiyyah dan berakidah Maaturiidiyyah), bahkan dari Maalikiyyah-Asy’ariyyah (berfikih Maalikiyyah dan berakidah Asy’ariyyah).
Kiyai Raden Haji Hadjid -rahimahullaah- mengatakan:
“Selama mengikuti beliau (Kiyai Haji Ahmad Dahlan -red), saya sering melihat beberapa kitab yang sering menjadi rujukan Kiai Ahmad Dahlan, yaitu: (1)Kitab Tauhid Muhammad ‘Abduh, (2)Tafsir Juz Amma Muhammad Abduh. (3)Kitab Kanzul Ulum, (4)Dairatul Ma’arif karya Farid Wajdi, (5)Kitab kitab Fil Bid’ah karya Ibnu Taimiyyah, sebagaimana kitab At Tawassul wal-Wasilah, (6)Kitab Al-Islam wan-Nasraniyyah karya Muhammad ‘Abduh, (7)Kitab Idharulhaq karya Rahmatullah Al-Hindi serta kitab-kitab Hadis karya ulama Madzhab Hambali, dan lain-lain yang tidak perlu saya sebut satu per satu di sini.” [33]
“Hendaklah kita meneruskan memberantas bidah yang ada di kalangan umat Islam dengan berpedoman kitab-kitab At-taushihu wal Washilah karangan Ibnu Taimiyah dan Zadul Ma’ad karangan Ibnul Qayyim. Al-I’tikhom karangan Imam Syatibi (al-Mudkhal lil Ibnil Akhdaz), Tariqotul Muhammadiyah lil Barkawi, As-Sunnu wal Mubtadi’ah, al-lbda-u fi Mudla-ril Ibtida’i, Ummul Quro li ‘Abdurrachman al-Kawabi, dan lain-lain.” [34]
Selain sebelumnya telah dijelaskan bahwa Kiyai Haji Ahmad Dahlan amat terpengaruh dengan dua majalah agung di masa itu: Al-‘Urwatul Wutsqaa (yang merupakan kolaborasi al-Afghaanii dan ‘Abduh) dan Al-Manaar (yang merupakan kolaborasi ‘Abduh dan Rasyiid Ridhaa), pun juga Kiyai Dahlan memiliki bahan-bahan bacaan lain yang juga amat berpengaruh bagi beliau dan beliau jadikan rujukan:
(a) Bahan bacaan yang ditulis oleh Ulama yang tidak terikat dengan salah satu madzhab dan yang mengusung reformisme/tajdiidiiyyah/pembaharuan sebagai prinsipnya, berikut:
(•) Kitab-kitab yang ditulis/dikarang oleh asy-Syaikh Muhammad ‘Abduh (wafat pada tahun 1414 hijriyyah):
-Kitab berjudul Risaalatut Tauhiid (رسالة التوحيد)
-Kitab berjudul Tafsiir Juz ‘Amma (تفسير جزء عم)
-Kitab berjudul Al-Islaam Wan Nashraaniyyah (الاسلام والنصرانية)
(•) Kitab-kitab yang ditulis/dikarang oleh asy-Syaikh Muhammad Fariid Wajdii (salah seorang murid utama dari asy-Syaikh ‘Abduh, ia wafat 1373 hijriyyah):
-Kitab berjudul Kanzul ‘Uluum (كنز العلوم)
-Kitab berjudul Daa-‘iratul Ma-‘aarif (دائرة معارف)
(b) Bahan bacaan yang ditulis oleh Ulama yang bermadzhab fikih Hanbalii dan bermadzhab akidah Atsarii/Salafii (Hanaabilah-Atsariyyah), yakni:
-Kitab berjudul Qaa’idatun Jaliilatun Fit Tawassuli Wal Wasiilati (قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة), yang ditulis/dikarang oleh Syaikhul Islaam Abuul ‘Abbaas Taqiyuddiin Ahmad Ibnu Taimiyyah al-Harraani al-Hanbalii al-Atsarii -rahimahullaah- (wafat pada tahun 728 hijriyyah).
-Kitab berjudul Zaadul Ma’aadi Fii Hadyi Khairil ‘Ibaadi (زاد المعاد في هدي خير العباد), yang ditulis/dikarang oleh al-‘Allaamah Abuu ‘Abdillaah Syamsuddiin Muhammad Ibnu Qayyimil Jauziyyah al-Hanbalii al-Atsarii -rahimahullaah- (wafat pada tahun 751 hijriyyah).
(c) Bahan bacaan yang ditulis oleh Ulama yang bermadzhab fikih Maalikii dan bermadzhab akidah Asy’arii (Maalikiyyah-Asy’ariyyah), yakni:
-Kitab berjudul Al-I’tishaamu (الاعتصام), yang ditulis/dikarang oleh al-Imaam Abuu Ishaaq Ibraahiim bin Muusaa asy-Syaathibii al-Maalikii al-Asy’arii -rahimahullaah- (wafat pada tahun 790 hijriyyah).
-Kitab berjudul Al-Madkhalu (المدخل), yang ditulis/dikarang oleh al-Imaam Abuu ‘Abdillaah Muhammad Ibnul Haaj al-‘Abdarii al-Maalikii al-Asy’arii -rahimahullaah- (wafat pada tahun 737 hijriyyah).
(d) Bahan bacaan yang ditulis oleh Ulama yang bermadzhab fikih Hanafii dan bermadzhab akidah Maaturiidii (Hanafiyyah-Maaturiidiyyah), yakni:
-Kitab berjudul Ath-Thariiqatul Muhammadiyyatu Was Siiratul Ahmadiyyatu (الطريقة المحمدية والسيرة الأحمدية), yang ditulis/dikarang oleh al-Imaam Taqiyyuddiin Muhammad bin ‘Alii al-Barkawii al-Hanafii al-Maaturiidii -rahimahullaah- (wafat pada tahun 981 hijriyyah).
(e) Dan bahan-bahan bacaan lainnya seperti:
-Kitab berjudul Idh-haarul Haqq (إظهار الحق), bertemakan perbandingan Agama, yang membahas tentang kristologi (ilmu pengetahuan yang membahas seluk belum Agama Nasrani/Kekristenan), yang ditulis/dikarang oleh Rahmatullaah al-Hindii (wafat pada tahun 1308 hijriyyah).
-Kitab berjudul As-Sunanu Wal Mubtada’aatul Muta’alliqah Bil Adzkaari Wash Shalawaati (السنن والمبتدعات المتعلقة بالأذكار والصلوات), yang ditulis/dikarang oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Abdus Salaam asy-Syuqairii -rahimahullaah- (wafat pada tanun 1352 hijriyyah).
-Kitab berjudul Al-Ibdaa’u Fii Madhaaril Ibtidaa’i (الابداع في مضار الابتداع), yang ditulis/dikarang oleh asy-Syaikh ‘Alii Mahfuudh -rahimahullaah- (wafat pada tahun 1361 hijriyyah).
-Kitab berjudul Ummul Quraa (أم القرى), yang ditulis/dikarang oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Kawaabii -rahimahullaah- (wafat pada tahun 1320 hijriyyah).
-Dan lain-lain.
Apabila telah dipahami tiga point ini, (1)Point pertama bahwa Kiyai Haji Ahmad Dahlan dan para Ulama Muhammadiyah generasi awal jelas-jelas adalah para Ulama yang berakidah Asy’arii, berfikih Syaafi’ii, dan bertasawuf Ghazaalii, (2)Namun point kedua bahwa kemudian Kiyai Haji Ahmad Dahlan terpengaruh oleh banyak gagasan reformisme/tajdiidiyyah/pembaharuan yang diusung oleh tiga Ulama yang tidak terikat dengan salah satu madzhab, yakni: Al-Afghaanii, ‘Abduh, dan Rasyiid Ridhaa, apalagi ternyata Rasyiid Ridhaa adalah pengusung dan pembela dakwah Wahhaabii, (3)Kemudian terakhir bahwa pada akhirnya Kiyai Haji Ahmad Dahlan terbuka dan aktif mempelajari dan mengambil pendapat-pendapat dari madzhab-madzhab yang berbeda-beda, baik yang secara fikih (Hanafii, Maalikii, Syaafi’ii, dan Hanbalii), maupun yang secara akidah (Atsarii/Hanbalii, Asy’arii, dan Maaturiidii), inilah tiga point kunci untuk memahami Muhammadiyah generasi awal.
Dengan memahami tiga point di atas, kita akan memahami mengapa Muhammadiyah generasi awal, di satu tempat menyebut al-Imaam al-Asy’arii dan al-Imaam al-Maaturiidii sebagai dua Imaam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tetiba di tempat lain menyebut asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil Wahhaab dan Wahhaabiyyah adalah pemberantas kesyirikan termasuk Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah juga, terkadang ngajarin sifat 20 dan terkadang ngajarin trilogi Tauhiid: Rubuubiyyah, Uluuhiyyah, dan Asmaa’ Wash Shifaat, terkadang menta’wil dan terkadang menolak takwil, dan seterusnya.
Inilah Muhammadiyah generasi awal, Muhammadiyah generasi awal bukanlah Wahhaabiyyah murni layaknya para Ulamanya Arab Saudi, namun Muhammadiyah generasi awal juga bukanlah Asy’ariyyah-Syaafi’iyyah-Ghazaaliyyah murni layaknya para Ulamanya NU (Nahdlatul ‘Ulama), Muhammadiyah generasi awal adalah sebagaimana yang saya ceritakan di atas, ianya adalah akumulasi dari berbagai pemikiran/pemahaman.
Lalu, tiba-tiba di era modern ini, orang-orang yang tidak mengerti sejarah Muhammadiyah generasi awal, karena ada arus besar persaingan teologis-ideologis di dunia Islam, baik di timur tengah antara Saudi dengan sekitarnya, baik di Nusantara antara Nahdhiyyiin dan Wahhaabiyyiin, tetiba ada banyak orang yang memaksa Muhammadiyah agar, pilihlah satu di antara dua ini:
(1) Jadilah Asy’arii-Syaafi’ii-Ghazaalii secara tulen/murni/konsekuen!
Atau, kalau tidak:
(2) Jadilah Wahhaabii secara tulen/murni/konsekuen,
Lohe, lohe, padahal Muhammadiyah generasi awal, merupakan formula yang luar biasa yang menghimpun/menggabungkan berbagai pendapat/pemikiran/pemahaman dari dua madrasah itu, bahkan juga dari berbagai madrasah lainnya, kok tetiba sekarang memaksa Muhammadiyah untuk meninggalkan formula Muhammadiyah itu sendiri yang merupakan sebagaimana Muhammadiyah generasi awal!
Alasannya, menurut saya hanya dua,
(1) Kader-kader Muhammadiyah tidak membaca secara utuh sejarah tentang dirinya, tentang Muhammadiyah,
(2) Kader-kader Muhammadiyah “Berkiblat” secara total kepada dua arus besar di dunia Islam saat ini, yang memang sedang bersaing!
CATATAN KAKI:
[1] Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta, 2013 M), hlm. 42.
[2] Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta, 2013 M), hlm. 135.
[3] Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta, 2013 M), hlm. 169.
[4] Hamka, Majelis Ulama Indonesia, Bicaralah!, Kompas, (11 Desember 1980 M).
[5] Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, 2018 M), jld. 1, halaman 5-6.
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 8, hlm. 6221.
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 8, hlm. 6319.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 10, hlm. 7995.
[9] Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, 2018 M), jld. 1, hlm. 69-142.
[10] Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta, 2018 M), jld. 1, hlm. 139-142.
[11] Hamka, Perkembangan Dan Pemurnian Tasawuf, (Jakarta, 2016 M), hlm. 265-266.
[12] Hamka, Perkembangan Dan Pemurnian Tasawuf, (Jakarta, 2016 M), hlm. 308-316.
[13] Hamka, 1001 Soal Kehidupan, (Depok, 2016 M), hlm. 34-35.
[14] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 4, hlm. 2394-2396.
[15] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 2, hlm. 728-729.
[16] Hamka, Teguran Suci Dan Jujur, (Selangor, tt), hlm. 74-78.
[17] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 6, hlm. 4030-4031.
[18] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 6, hlm. 4269.
[19] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura, tt), jld. 3, hlm. 1723-1727.
[20] Djarnawi Hadikusuma, Kitab Tauhid, (Yogyakarta, tt), hlm. 10-24.
[21] Djarnawi Hadikusuma, Kitab Tauhid, (Yogyakarta, tt), hlm. 32-34.
[22] Djarnawi Hadikusuma, Kitab Tauhid, (Yogyakarta, tt), hlm. 6.
[23] Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaruan Islam: Jamaluddin Al-Afghani Hingga KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta, 2014 M), hlm. 78-80.
[24] Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaruan Islam: Jamaluddin Al-Afghani Hingga KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta, 2014 M), hlm. 80-82.
[25] Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaruan Islam: Jamaluddin Al-Afghani Hingga KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta, 2014 M), hlm. 82.
[26] Djarnawi Hadikusuma, Kitab Tauhid, (Yogyakarta, tt), hlm. 32-34.
[27] Djarnawi Hadikusuma, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Bid’ah Khurafat, (Yogyakarta, 1996 M), hlm. 49-53.
[28] Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaruan Islam: Jamaluddin Al-Afghani Hingga KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta, 2014 M), hlm. 82-88.
[29] Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta, 2013 M), hlm. 3.
[30] Djarnawi Hadikusuma, Aliran Pembaruan Islam: Jamaluddin Al-Afghani Hingga KH. Ahmad Dahlan, (Yogyakarta, 2014 M), hlm. 62-63.
[31] Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta, 2013 M), hlm. 3.
[32] Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah Hadhratussyeikh Hasyim Asy’ari, (Bekasi, 2021 M), hlm. 37-42.
[33] Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta, 2013 M), hlm. 3.
[34] Hadjid, Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an, (Yogyakarta, 2013 M), hlm. 102.