Seong Gi Hun bukan lagi pria yang kita kenal di season pertama. Dahulu, ia adalah lelaki kacau balau: tinggal menumpang di rumah ibunya, cerai dari istrinya, jauh dari anak perempuan satu-satunya, hobi berjudi, dan penuh kegagalan dalam bisnis. Ia yang dulu kita lihat juga jenaka, polos, ramah, dan bersahabat, kini berubah total.
Di season kedua Squid Game, Gi Hun kembali bukan sebagai peserta biasa. Ia kembali dengan tujuan yang mengerikan: menghancurkan permainan yang telah memakan begitu banyak nyawa. Wajahnya dingin, sorot matanya penuh dendam. Ia tak lagi banyak bicara. Trauma dan kemarahan telah membentuknya menjadi sosok alfa yang tak kenal belas kasihan.
Uang yang Gi Hun dapatkan dari kemenangan di musim pertama tidak ia nikmati untuk hidup nyaman. Sebaliknya, ia gunakan sebagai senjata untuk meruntuhkan sistem permainan yang penuh darah ini. Gi Hun tahu, Squid Game lebih dari sekadar permainan. Ini adalah mesin pembunuh yang menyasar mereka yang terjebak dalam situasi putus asa.
Permainannya terlihat sederhana memang, bahkan nyaris kekanak-kanakan. Tetapi di balik kepolosannya, ada maut yang mengintai. Kegagalan tidak hanya berarti kehilangan uang, tetapi juga nyawa. Hadiah 45,6 miliar won yang ditawarkan menjadi godaan besar bagi mereka yang hidupnya telah hancur. Angka itu berasal dari nilai setiap nyawa peserta, dihargai 100 juta won, dikalikan jumlah awal 456 peserta. Dengan taruhan sebesar itu, batas moral pun terhapus.
Di musim kedua, Squid Game tidak hanya soal permainan dan pembantaian. Ada yang berbeda: latar belakang para peserta kini terasa lebih dekat dengan kehidupan nyata. Ada yang terjerat investasi uang digital yang gagal, terlilit utang judi online, atau berjuang membayar biaya pengobatan anaknya. Mereka datang ke permainan berdarah ini dengan alasan yang sama: mencari jalan keluar dari lubang gelap utang yang menyesakkan dada.
Dan inilah ironi yang mencubit nurani. Utang telah menjadi penyakit kolektif manusia sepanjang sejarah. David Graeber pernah menulis tentang ini dalam bukunya Debt: The First 5000 Years. Lilitan utang, katanya, telah lama menjadi senjata yang merampas kehormatan manusia. Fenomena usury atau riba, yang menjadi akar dari lilitan ini, adalah duri tajam yang menyakiti peradaban kita. Utang membuat manusia kehilangan martabat, dan ini adalah salah satu bentuk perbudakan paling halus di era modern.
Namun, peradaban tidak diam begitu saja. Seperti yang dicatat oleh Graeber, Islam memberikan respons moral yang besar terhadap riba. Menurutnya, Islam adalah agama yang didedikasikan untuk membasmi riba secara menyeluruh (religion dedicated to eradicating usury altogether). Sistem masjid dan bazar, sebagai kembarannya, adalah upaya untuk menciptakan ekonomi yang lebih adil dan manusiawi. Berbeda dengan peradaban lainnya, Islam justru melarang perbudakan akibat utang (slavery through debt were forbidden, or rendered unenforceable).
Jihad Ekonomi ala Muhammadiyah
Sebagai gerakan Islam, Muhammadiyah juga turut mengambil bagian dalam memberikan solusi konkret bagi orang yang terjerat utang. Dalam QS. Al-Taubah ayat 60, salah satu kelompok penerima zakat adalah al-gharimin, yaitu orang-orang yang memiliki utang. Berdasarkan Fikih Zakat Kontemporer yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 2020, konsep ini diterjemahkan menjadi langkah konkret.
Zakat bisa digunakan untuk membantu mereka yang terjerat utang kepada rentenir, melunasi biaya rumah sakit, hingga membantu pendidikan tinggi. Dengan zakat, Islam tidak hanya memandang kekurangan harta sebagai sebuah kenyataan hidup yang tidak bisa dihindari, tetapi juga menawarkan jalan keluar untuk mengentasnya. Meski begitu sulit dihapuskan sepenuhnya, kemiskinan dapat diminimalkan dampaknya sehingga tidak menghancurkan sendi-sendi kemanusiaan.
Dalam pandangan Islam, para peserta Squid Game adalah mereka yang sangat layak menerima zakat. Dan Muhammadiyah, melalui lembaga amil zakatnya, Lazismu, telah menjalankan fungsi ini dengan baik. Sepanjang tahun 2023, Lazismu telah menyalurkan lebih dari Rp117,5 miliar kepada orang-orang yang membutuhkan, termasuk mereka yang tenggelam dalam lilitan utang.
Namun, zakat hanyalah salah satu sisi dari upaya Muhammadiyah dalam memberantas kemiskinan. Tidak selalu melalui seruan keagamaan, tetapi juga melalui pembangunan amal usaha yang memberdayakan ekonomi umat.
Saat ini, Muhammadiyah mengelola ratusan perguruan tinggi, ribuan sekolah dasar dan menengah, ratusan pesantren, ratusan rumah sakit, dan berbagai unit usaha lainnya. Institusi-institusi ini tidak hanya mendidik dan merawat, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan bagi ratusan ribu orang. Jumlah yang fantastis ini bolehlah sedikit berasumsi bahwa Muhammadiyah secara langsung menyelamatkan banyak individu dari kemiskinan dan jerat utang yang mematikan.
Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki instrumen ekonomi seperti Dana Pensiun Muhammadiyah, Baitu Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan Baitul Mal wa Tamwil (BMT/Koperasi). Keberadaan lembaga-lembaga ini berfungsi sebagai pilar ekonomi yang mendukung kemandirian umat. Dari sini, kita dapat melihat bahwa upaya Muhammadiyah t menciptakan ekosistem ekonomi yang memungkinkan orang untuk bangkit dan mandiri.
Mukhlis Rahmanto menjelaskan bahwa model ekonomi Muhammadiyah bersifat unik. Secara operasional, ekonomi Muhammadiyah bersifat sentralisasi dalam pengelolaan aset dan kekayaan. Namun, pada saat yang sama, ia terdesentralisasi melalui pendirian amal usaha di berbagai tingkatan struktur Muhammadiyah, mulai dari pusat hingga ranting.
Model ini memungkinkan amal usaha Muhammadiyah untuk dikelola secara semi otonom, di mana setiap tingkatan organisasi bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangannya. Namun, kepemilikan tetap atas nama Muhammadiyah, memastikan bahwa semua keuntungan yang dihasilkan kembali kepada umat.
Kisah zakat dan amal usaha Muhammadiyah ini adalah kisah tentang harapan. Harapan bahwa dengan disiplin menunaikan kewajiban zakat dan memperkuat institusi ekonomi umat, kita dapat menciptakan dunia di mana martabat manusia tetap terjaga. Dunia di mana tidak ada lagi yang perlu memainkan permainan berdarah demi bertahan hidup.