CakrawalaArtikel

Kisah Soekarno Walk Out di Rapat Muhammadiyah Karena Tabir, Niat Utama Menjaga Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah

104
×

Kisah Soekarno Walk Out di Rapat Muhammadiyah Karena Tabir, Niat Utama Menjaga Islam Berkemajuan ala Muhammadiyah

Sebarkan artikel ini

Persinggungan Sukarno dengan Muhammadiyah pertama kali terjadi saat dirinya indekos di rumah tokoh Sarekat Islam, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII/29-31 Surabaya, Jawa Timur.

Berdasar kesaksiannya, pertemuan dengan pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan terjadi pertama kali saat dia berusia 15 tahun atau pada sekira tahun 1916.

Saat itu Kiai Ahmad Dahlan bertabligh ke Surabaya. Dari pertemuan itu, Sukarno mendapatkan kesan kuat hingga ‘ngintil’ (mengekor) kepada Kiai Ahmad Dahlan.

Keterlibatan Sukarno dengan Muhammadiyah semakin kuat tatkala dirinya menjalani pemindahan tempat pengasingan dari Ende ke Bengkulu pada 14 Februari 1938. Di sana, Sukarno aktif menjadi Ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah dan Direktur Sekolah Menengah Muhammadiyah.

Catatan menarik terjadi kala Sukarno mendebat penggunaan tabir di suatu rapat Muhammadiyah Bengkulu pada bulan Januari 1939. Sikap protes Sukarno ditunjukkan dengan cara walk out (meninggalkan) rapat tersebut.

Protes Sukarno: Penggunaan Tabir Lambang Perbudakan, Tidak Sesuai Ajaran Kiai Ahmad Dahlan

Dalam protesnya, Sukarno menganggap penggunaan tabir melambangkan cara pandang Islam yang mundur. Tabir sendiri adalah pembatas perempuan dan laki-laki yang membuat jamaah perempuan tidak dapat melihat penceramaah atau jamaah lain dari lawan jenis.

Erniwati dkk dalam Samaun Bakri: Berjuang Untuk Republik Hingga Akhir Hayat (2019) menulis pasca kejadian itu, Sukarno bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Haji Syudjak dan Samaun Bakri. Keduanya sepakat dengan pandangan Sukarno. Haji Syudjak sendiri menyebut tabir memang tidak diperlukan dalam rapat Muhammadiyah, karena Kiai Ahmad Dahlan pun berpendapat demikian.

Bukan Semata-mata Tabir, Tapi Menjaga Identitas Muhammadiyah Sebagai Organisasi Islam Modern

Protes Sukarno terhadap masalah tabir nyatanya karena Sukarno menaruh harapan besar untuk agar Muhammadiyah berhasil mengangkat umat dari pandangan kolot yang membelenggu untuk maju. Pada wawancara dengan koresponden Surat Kabar Antara yang dimuat di Surat Kabar Pandji Islam tahun itu, Sukarno berkata:

“… Saya adalah murid dari Historische School van Marx. Hal tabir itu saya pandang historisch pula, zuiver onpersoonlijk (bukan hal personal). Tampaknya seperti soal kecil, soal kain yang remeh. Tapi pada hakekatnya, soal mahabesar dan mahapenting, soal yang mengenai segenap maatsschappelijke positie (posisi sosial) kaum perempuan. Saya ulangi: tabir ialah simbol dari perbudakan kaum perempuan! Meniadakan perbudakan itu adalah pula satu historische plicht (tugas sejarah)!”

Menulis Surat Terbuka ke Kiai Mas Mansur

Tak cukup dengan uraian dari Haji Syudjak yang dikenal sebagai periwayat KH. Ahmad Dahlan, Sukarno meminta ketegasan soal hukum Islam dan pandangan Muhammadiyah ke tokoh Muhammadiyah lain yang juga sahabatnya, Kiai Haji Mas Mansur.

Dalam pandangannya Sukarno menganggap perintah Allah menundukkan pandangan (ghaddul bashar) sudah cukup sebagai pedoman dalam relasi muamalah laki-laki dan perempuan sehingga tidak perlu tambahan seperti tabir yang justru membuat perempuan terkungkung.

Berikut isi dari Surat Terbuka Sukarno bertajuk “Minta Hukum yang Pasti dalam Soal ‘Tabir” sebagaimana dimuat dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi (1959):

Surat Terbuka Soekarno Kepada Kiai Haji Mas Mansur Ketua H.B Muhammadiyah

Assalamu’alaikum, Saudara yang tercinta!

Atas permintaan dan atas nama banyak kaum intelektuil Indonesia, saya dengan perantaraan Saudara, menulis surat ini kepada semua anggota Muhammadiyah, terutama sekali kepada utusan-utusannya yang akan berkongres di Medan pada penghabisan bulan ini. Dengan sangat saya minta supaya apa yang saya tuliskan di bawah ini diperhatikan betul-betul.

Sebab hal yang saya tuliskan ini bukanlah sekali-kali hal yang ‘remeh’, tetapi betul suatu hal yang mengenai ideologi kaum intellegentzia Indonesia dan kaum Muhammadiyah seluruhnya.

Hal itu ialah hal tabir. Dengan mengucap alhamdulillah kepada Allah subhanahu wata’ala, maka tindakan protes saya tempo hari, yakni dengan cara demonstratif bersama-sama saya punya isteri meninggalkan satu rapat Muhammadiyah yang memakai tabir sudah membangunkan minat sebagian besar rakyat Indonesia terhadap soal ini. Ada yang pro, ada yang zakelijk-netral, ada yang anti, ada yang mau menghabisi soal ini dengan alasan-alasan perseorangan yang tidak zakelijk (komersial). Sekarang sudah nayatalah minat itu sehangat-hangatnya, dan tinggallah kita membicarakan hal ini di Maejlis Tarjih nanti dengan tenang dan objektif.

Saya harap Saudara mengerti betul-betul apa yang saya maksudkan tahadi dengan menyatakan bahwa soal ini mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula.

Mengenai ideologi kaum intelektuil, oleh karena kaum intelektual benar-benar tidak bisa simpati kepada tabir itu sebab merekat tahu bahwa tabir itu adalah benar-benar “simbolnya perbudakan kaum perempuan” itu.

Mereka mengira bahwa saya bermaksud mengatakan bahwa orang lelaki Islam dengan sengaja mau memperbudakkan kaum perempuan, lalu menindas kaum perempuan. Saudara tahu bukan begitu maksudnya. Tabir adalah simbol perbudakan perempuan, sebagaimana misalnya Burgerlijk Wetboek (kode sipil) orang Belanda adalah simbol perbudakan perempuan. Di dalam Burgerlijk Wetboek itu, sebagai hasilnya historisch maatschappelijk proces (proses sosial sejarah), hak-hak kaum perempuan Eropah banyaklah diikat dan digunting. Tetapi siapakah orang yang mau mengatakan bahwa orang lelaki Eropah memperbudak perempuan Eropah? Siapakah yang tidak mengetahui bahwa orang Eropah sangat beleefd dan galant terhadap kaum perempuannya?

Namun, tiap-tiap orang yang mengetahui seluk-beluknya Burgerlijk Wetboek akan membenarkan perkataan saya bahwa Burgerlijk Wetboek itu adalah simbol perbudakan perempuan, dan bahwa oleh karenanya Burgerlijk Wetboek itu bersifat tidak sempurna dan tidak boleh menjadi teladan bagi kita.

Tidak, Saudara Mansur yang tercinta. Susunan Burgerlijk Wetboek bukanlah akibat dari persengajaan individu kaum lelaki Eropah mau menghina kaum perempuan, bukanlah akibat bewust willen (keinginan secara sadar), tetapi adalah akibat dari susunan masyarakat Eropah, dari perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat Eropah dari historisch maatschappeljike verhoudingen (hubungan sosial sejarah) di kalangan orang Eropah.

Maka begitu pula, kalau saya mengatakan bahwa tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan, maka bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam sengaja mau menindas kaum perempuan, bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam semuanya orang jahat, tetapi ialah bahwa tabir perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat orang Islam, yakni akibat atau sisa dari historisch maatschappelijke verhoudingen di kalangan orang Islam. Malahan saya berkata: walaupun misalnya benar orang lelaki Islam zaman sekarang memasang tabir itu justru “mau memuliakan orang perempuan”, begitulah setengah alasan dari pro tabir, maka saya tetap menamakannya simbol perbudakan!

Bukan kehendak individu yang di sini harus kita pertimbangkan, tetapi adalah kedudukan masyarakat, perbandingan-perbandingan masyarkat! Misalnya saudara mengurung burung di dalam sangkar emas, memberikan kepadanya makan dan minum yang lezat, menempatkan sangkar itu di dalam bilik yang terindah untuk memuliakan dia, tidakkah benar kalau saya berkata bahwa Saudara menghukum burung itu? Itulah sebabnya, maka saya di dalam interview tempo hari mengatakan, bhaw atabir bukan perkataan kain secabik, tetapi ialah satu hal, yang mengenai segenap maatschappelijke positie (posisi sosial) perempuan!

Saudara, saya ulangi lagi: kaum intelektual Indonesia tidak bisa simpati tabir itu, oleh karena mereka dengan cara historisch maatschappelijke analyse, mengetahui bahwa tabir ialah sisanya historisch proces yang mendatangkan perbudakan masyarakat. Mereka merasakan tabir sebagai satu hal yang betul menyinggung ideologi mereka sebab mereka hidup di dalam satu ideologi anti-perbudakan. Marilah kita perhatikan dan benarkan ideologinya kaum intelligentzia itu!

Dan sebaliknya marilah kita kini perhatikan serta menjaga ideologi kaum Muhammmadiyah sendiri! Sebab sebagai tahadi sudah saya katakan, maka tabir adalah mengenai ideologi kaum intelektuil Indonesia dan ideologi kaum Muhammadiyah. Kenapa mengenai pula ideologi kaum Muhammadiyah?

Mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula, oleh karena soal tabir ini menjadi ujian kepada kaum Muhammadiyah betapa jauhkan mereka punya kemuhammadiyahan: apakah benar mereka berideologi muda tak mau lain alasan melainkan Quran dan Hadis; apakah benar mereka berideologi muda, berani menentang adat yang tidak sesuai dengan Quran dan hadis; apakah benar mereka berideologi muda berani menerima semua hal modern yang nyata dibolehkan oleh agama? Ideologi Muhammadiyah di dalam kongres Medan ini dibawa di atas padang ujian, dan kaum intelektuil Indonesia menunggu-nunggu dan mendoa-doa, moga-moga ujian itu berhatsillah kiranya yang sesuai dengan zaman.

Ah, Saudara Mansur! Kenapa di dalam soal ini kita merasakan hukum yang buat isteri-isteri Nabi sahaja itu, kepada umum? Kenapa di dalam soal ini kita mau melebihi kebijaksanaan Allah dan Rasul, yang buat umum tidak menyuruh pasang tabir? Kenapa di dalam soal ini kita berkata, “Ya, diperintahkan sih tidak, tapi dilarang pun tidak”?

Kenapa di dalam soal ini kita begitu? Kenapa misalnya kita, buat menajga jangan sampai ada orang mencuri, tidak tutup sahaja kita punya rumah? Menutup rumah toch juga tidak dilarang? Atau buat menjaga jangan sampai kita berdusta, tidak kita tutup sahaja kita punya mulut jangan bicara dengan orang lain? Membisu toh juga tidak dilarang?

Sekali lagi: kenapa di dalam soal ini?

Sukarno, Pandji Islam 1939

Penyusun: Afandi

Editor: Fauzan AS

Komentar
sang guru
Artikel

Sejak lahir di dunia orang tua dan keluarga-lah…